Revolusi
adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi,
perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih
dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran
kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan
waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan
tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan
masyarakat seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan yang
telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk
merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang
sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika,
romantika, menjebol dan membangun.
Kebudayaan Indonesia Zaman Pra Sejarah
Pembagian
zaman dalam prasejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang
menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu tersebut. Adapun pembagian
kebudayaan zaman prasejarah tersebut terdiri dari :
I.
Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan
tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan
Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1.Kebudayaan
Pacitan
Pada
tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang
kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak
bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut
chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan
adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang
merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus. Sehingga
kebudayaan Palaelitikum itu pendukungnya adalah Pithecanthropus Erectus, yaitu
manusia pertama dan manusia tertua yang menjadi penghuni Indonesia.
2.Kebudayaan
Ngandong
Di
daerah sekitar Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun, ditemukan alat-alat
dari tulang bersama kapak genggam. Alat-alat yang ditemukan dekat Sangiran juga
termasuk jenis kebudayaan Ngandong. Alat-alat tersebut berupa alat-alat kecil
yang disebut flakes. Selain di Sangiran flakes juga ditemukan di Sulawesi
Selatan. Berdasarka penelitian, alat-alat tersebut bersalo dari lapisan
pleistosen atas, yang menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan hasil
kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis (Soekmono, 1958: 30). Dengan
demikian kehidupan manusia Palaelitikum masih dalam tingkatan food gathering,
yang diperkirakan telah mengenal sistem penguburan untuk anggota kelompoknya
yang meninggal.
II.
Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan
atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan
menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga
diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas
tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir
pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous
Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri
dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan
alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.
Kebudayaan
zaman Mesolitikum di Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Tonkin di
Hindia Belakang, yaitu di pegunungan Bacson dan Hoabinh yang merupakan pusat
kebudayaan prasejarah Asia Tenggara. Adapun pendukung dari kebudayaan
Mesolitikum adalah Papua Melanesia.
III.
Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman
Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah
mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang
telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek
kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar
kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi
corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:
1.Kapak
Persegi
Sebutan
kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya
berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk
alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang
melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu
yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang
persegi.
2.Kapak
Lonjong
Disebut
kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya
sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan
ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong
disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.
Benda-benda
lainnya pada zaman Neolitikum adalah kapak pacul, beliung, tembikar atau periuk
belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai benda perhiasan. Adapun yang
menjadi pendukungnya adalah bangsa Austronesia untuk kapak persegi, bangsa
Austo-Asia untuk kapak bahu, dan bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.
IV.
Zaman Logam
Zaman
logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia
Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga
setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan
Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:
1.Kebudayaan
Zaman Perunggu
Hasil-hasil
kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga
kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah,
dan kedalam corong itulah dimasukkan
tangkai kayunya. Serta nekara, yaitu barang semacam berumbung yang
bagian tengah badannya berpinggang dan di bagian sisi atasnya tertutup, yang
terbuat dari perunggu. Selain itu, benda lainnya adalah benda perhiasan seperti
kalung, anting, gelang, cincin, dan binggel, juga manik-manik yang terbuat dari
kaca serta seni menuang patung.
2.Kebudayaan
Dongson
Dongson
adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat
kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan
Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman
besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.
V.
Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Zaman
Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman
Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan
bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar.
Peninggalan-peninggalannya yang terpenting adalah:
1.Menhir,
yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap
arwah nenek moyang.
2.Dolmen,
berbentuk meja batu yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang
dipersembahkan untuk nenek moyang.
3.Sarcopagus,
berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai
tutup.
4.Kubur
batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5.Punden
berundak-undak, berupa bangunan pemujaan dari batu yang tersusun
bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6.Arca-arca,
yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Hasil-hasil
kebudayaan Megalitikum di Indonesia mempunyai latar belakang kepercayaan dan
alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
1. Masa Berburu dan Meramu (Food Gathering)/Mengumpulkan
Makanan
Kehidupan
Budaya
1. Dengan peralatan yang masih sangat
sederhana, mula-mula bisa membuat rakit, lama kelamaan mereka membuat perahu.
2. Mereka belum mampu membuat gerabah, oleh
karena itu, mereka belum mengenal cara memasak makanan, salah satunya yaitu
dengan cara membakar.
3. Mereka sudah mengenal perhiasan yang
sanagat primitif yaitu dengan cara merangkai kulit-kulit kerang sebagai kalung.
4. Untuk mencukupi kebutuhan hiudup mereka
membuat alat-alat dari batu, tulang, dan kayu.
5. Pada masa itu mereka memilih untuk tinggal
di gua-gua, dari tempat tersebut ditemukan peninggalan berupa alat-alat
kehidupan yang digunakan pada masa itu, seperti:
-
Kapak perimbas, Kapak Penetak, Kapak genggam, Pahat genggam, Alat serpih,
Alat-alat dari tulang, dll.
2. Masa Bercocok Tanam (Food Producing) dan
Beternak
Kehidupan
Budaya
1.
Kebudayaan semakin berkembang pesat, manusia telah dapat mengembangkan
dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik
2.
Peninggalan kebudayaan manusia pada masa bercocok tanam semakin banyak
dan beragam, baik yang terbuat dari tanah liat, batu maupun tulang
3.
Hasil kebudayaan pada masa bercocok tanam:
Beliung Persegi, Kapak Lonjong, Mata panah,
Gerabah, Perhiasan, Bangunan Megalitikum seperti menhir, dolmen, sarkofagus,
kubur batu, punden berundak, waruga, arca.
3. MASA PERTANIAN
Kehidupan
Budaya
1. Mereka sudah menetap, dan tinggal di
rumah-rumah, membentuk perkampungan dan hidup sebagai petani;
2. Mereka telah mengenal musim sehingga dapat
dipastikan mereka telah menguasai ilmu perbintangan (ilmu falak);
3. Mereka telah menggunakan alat-alat
kehidupan yang halus seperti kapak persegi, dan kapak lonjong, selain itu juga
menggunakan kapak perunggu, nekara, gerabah serta benda-benda megalitik;
4. Alat-alat yang dibuat dari batu, seperti
kapak batu halus dengan beragai ukuran kapak batu dengan ukuran kecil yang
indah digunakan sebagai mas kawin, alat penukar, atau alat upacara;
5. Kapak-kapak dari logam berupa perunggu
memunculkan budaya megalitik berupa menhir, dolmen, punden berundak, pandhusa,
dll;
6. Alat-alat yang dibuat dari tanah liat
sangat berhubungan erat dengan adanya proses kimia, yaitu proses pencampuran
tanah liat, penjemuran, dan teknik-teknik pembakarannya. Gerabah sudah dibuat
dengan warna-warni dan dengan hiasan yang beraneka ragam. Seperti hiasan dari
anyaman kain yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita sudah mengenal tulisan.
4. MASA PERUNDAGIAN
Kehidupan
Budaya
1. Masyarakat zaman ini telah menunjukkan
tingkat budaya yang tinggi terlihat dari berbagai bentuk benda seni dan upacara
yang ditemukan menunjukkan keterampilan masyarakat perundagian yang tinggi;
2. Zaman ini ditandai dengan pesatnya kemampuan
membuat alat-alat akibat perkembangan teknologi. Mereka menemukan teknologi
peleburan biji logam. Oleh karena itu, semakin banyak manusia yang menggunakan
logam untuk memenuhi perkakas hidupnya;
3. Pada zaman perunggu, orang dapat
memperoleh jenis logam yang lebih keras daripada tembaga, sebab perunggu
merupakan logam campuran dari tembaga dan timah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kebudayaan manusia pada zaman ini jauh lebih tinggi. Terbukti masyarakatnya
sudah mengenal teknologi peleburan dan pencampuran logam.
4. Pada zaman besi, manusia telah menemukan
logam yang jauh lebih keras lagi dimana harus dileburkan pada titik lebur yang
cukup tinggi. Sehingga alat-alat pada zaman ini telah lebih sempurna daripada
sebelumnya. Kemampuan membuat benda-benada jauh lebih tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Teknologi peleburan logam yang digunakan
adalah dengan sistem pemanasan, pencetakan logam, pencampuran logam dan
penempaan logam;
5. Pada zaman Perundagian peralatan gerabah
masih ditemukan dengan teknologi yang semakin maju. Hal ini menunjukkan bahwa
peranan alat-alat dari gerabah tersebut tidak dapat digantikan dengan mudah
oleh alat-alat dari dari logam.
Revolusi
budaya saat ini seakan begitu deras mengikis secara perlahan akar budaya bangsa
Indonesia, baik budaya bahasa moral serta agama.
Banyak
faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan di masa sekarang ini. Masuknya
budaya asing ke Indonesia sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya
tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataanya budaya asing
mulai mendominasi sehingga budaya local mulai dilupakan.
Suatu
ironis kebudayaan sendiri dijauhi oleh anak muda sekarang. Tidak habis pikir
mengapa kaum muda sekarang lebih suka ala boyband/girlband, seksi dancer, hip
hop yang sama sekali tidak mencerminkan ciri khas budaya Indonesia yang ramah,
sopan dan berkepribadian luhur.Di Banjarbaru beberapa waktu lalu tepatnya di
lapangan Murjani tarian tidak etis yang sering dikenal sebagai seksi dancer
ditampilkan dalam suatu acara promosi salah satu perusahaan rokok. Aksi tarian
itu ditampilkan di depan anak-anak di bawah umur yang berjarak hanya beberapa
meter saja.
Bukanlah
sesuatu hal yang aneh ketika pihak yang seharusnya mengingatkan malah ikut
menikmati tarian energik yang identic dengan busana minim dipertontonkan tanpa
ada pengawasan ataupun peringatan bagi anak di bawah umur. Sebagian orang
menganggap itu hanya sebagai hiburan.
Dalam
tinjauan psikologi perkembangan, peran orangtua dibutuhkan dalam mendampingi
dan memberitahu bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri pada perubahan,
perkembangan dan adanya perbedaan di dalam lingkungan mereka. Anak-anak tidak
bisa dibiarkan lepas ke dunianya sendiri.
Logika
yang muncul, jika lingkungan mereka tidak tepat maka anak-anak ini akan
mendapat dampak negatif, baik perubahan psikologinya ataupun kepribadiannya.
Memang benar anak dibebaskan untuk memilih apa yang menurutnya itu cocok untuk
dirinya. Di sinilah orangtua wajib mengarahkan dan membimbing. Pembelajaran
seni tari pada anak usia dini sangat berpengaruh terhadap pola perkembangan
anak yang ditandai dengan perkembangan motoric kasar dan motoric halus, pola
bahasa dan piker, emosi jiwa serta perkembangan social anak.
Di
sekolah keprihatinan manakala keberadaan siswa didik kurang berminat terhadap
seni budaya daerah, kata-kata yang terlontar dari mereka bahwa tari/lagu daerah
itu kuno (ketinggalan jaman). Itulah persoalan yang menampar wajah dunia
pendidikan saat ini. Apakah fakta tersebut bias dari program Ujian Nasional
(UN) yang hanya menekankan factor pengetahuan (kognitif) belaka. Fakta
keterampilan (psikomotor) kurang mendapat perhatian.
Padahal
pelajaran tari bukan bertujuan untuk mempelajari sikap gerak saja, namun juga
sikap mental, kedisiplinan, sehingga pendidikan tari itu menjadi media
pendidikan. Dalam bukunya tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara menuliskan,
tari anak-anak akan memberi pengaruh terhadap ketajaman pikiran, kehalusan rasa
dan kekuatan kemauan serta memperkuat rasa kemerdekaan.
Di
sisi lain, pihak sekolah kadang-kadang masih memandang kesenian dengan sebelah
mata dibandingkan dengan bidang lain, seperti olahraga. Contoh nyata,
pembangunan sarana olahraga jauh mengalahkan ketersediaan sarana berekspresi kesenian,
bahkan juga mengalahkan kepentingan yang paling mendasar seperti perpustakaan.
Seni
tradisional yang selama ini jauh dari kehidupan generasi muda dengan berbagai
sebab-sebabnya yang telah diuraikan. Mulai dari arus globalisasi dan generasi
muda yang cenderung apatis dan mengikuti arus, sehingga budaya asing yang
terkesan praktis telah menjadi kiblat budaya mereka.
Bagaimanapun
juga ajaran-ajaran seni tradisional daerah telah memberikan pemahaman moral
yang luhur, dan memang sangat sesuai jika di aplikasikan dalam diri generasi
muda.
Sumber :